KISAH ORANG ASING
Oleh : S N H
-Naskah ini dimuat di buku antologi cerpen Borrowed Memories Penerbit Ellunar-
Bogor, 4 Maret 2019
Angin sepoi yang bertiup tidak menyurutkanku untuk terus
memandang hamparan danau di depan sana. Kabut tipis menguasai dari atas danau
membuatku tidak dapat melihat ujung danau ini. Seseorang menyentuh bahuku
ringan. Pandanganku mengarah mengikuti pergerakannya. Ia duduk dan melipat
kedua kakinya di depan dada, mengikuti gaya dudukku.
“Hai!” sapanya sok kenal. Aku membuang muka ke depan
dengan cepat. “Bagaimana kau bisa sampai kesini?” Tanyanya kemudian.
“Aku tidak butuh berbagi kisah dengan orang asing.” Aku
melihatnya tersenyum sinis sekilas kemudian disusul ekspresi datar. Mungkin
saja orang ini memang berniat baik tetapi apa aku sanggup untuk membuka kisah
yang bahkan aku sendiri tidak ingin mendengarnya? Hatiku bergejolak.
“Mungkin saja aku bisa sedikit meringankan bebanmu.”
Kisahpun dimulai.
***
Leona, gadis yang sudah dijodohkan denganku sejak kita
berada di bangku sekolah menengah atas. Dia gadis yang baik, sopan dan tentu
saja memiliki latar belakang keluarga yang baik. Kita berencana akan menikah
setelah tiga tahun kami lulus kuliah, namun baru dua tahun berlalu orang tuanya
memintaku untuk mempercepat acara pernikahan. Tentu saja tidak ada alasan untuk
aku menolak.
Tiga bulan berlalu setelah pernikahan, aku menjalani kehidupan
pernikahan dengan normal. Setiap pagi kami sarapan bersama, kemudian dia akan
mengantarku hingga ke mobil saat berangkat kerja dan saat pulang makan malam
lezat sudah tersaji.
Namun tidak dengan malam itu.
“Gen,” Panggilnya lirih. Dia menemaniku duduk di sofa. Aku
menatapnya memberi tanda sudah siap untuk mendengarkan. “Aku hamil.” Ujarnya
pendek. Aku segera memeluknya erat tidak peduli dia tidak akan bisa bernapas.
Senyuman terus mengembang di bibirku.
“Tapi bukan kamu ayahnya.”
Aku membeku kemudian dengan perlahan melepaskan pelukan. Ia
menunduk.
“Apa ayahmu tahu tentang ini?” Aku masih tidak mengerti
begitu banyak pertanyaan yang terlintas di otakku hingga aku muak, justru
pertanyaan seperti itu yang terpilih. Dia mengangguk. Aku meremas rambut belakang
kepalaku gemas.
“Sebenarnya ayah melarangku untuk mengatakan ini, tetapi
aku merasa menjadi sangat jahat.” Mau mengatakan atau tidak tetap saja itu
kejahatan. “Alasan ayah untuk mempercepat pernikahan adalah,” kalimatnya
sedikit terputus oleh isakannya. “Karena aku sudah mengandung.” Ia mengangkat
wajahnya menatapku. Inilah untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Aku
merasa kasihan kepadanya tetapi aku lebih kasihan terhadap diriku sendiri. “Aku
harap dengan kejujuranku ini, kamu masih mau menerimaku Gen.” Ia memeluk
lenganku tanda permohonan. Aku memandang pucuk kepalanya yang menempel di
lenganku.
“Aku akan memaafkanmu,” Leona mengangkat wajahnya. “Jika
kau bunuh bayi itu!” kataku mengakhiri obrolan malam ini.
Selama seminggu setelah kejadian malam itu, aku memutuskan
untuk menyewa penginapan dan tidak pernah pulang. Aku membanting diri ke kasur.
Ponselku berdering menandakan ada panggilan. Ayah.
“Apa yang sudah
kau lakukan pada Leona?” Suaranya tenang. “Dia menggugurkan bayinya.” Aku tidak
pernah menyangka Leona akan benar-benar melakukannya. Ada sedikit penyesalan
yang terlintas.
“Seharusnya ayah tahu,” ucapku tak kalah tenang. “Siapa
yang menjadi tokoh antagonisnya.” Aku menutup panggilan secara sepihak.
Tepatnya dua minggu berlalu sejak aku pergi dari rumah.
Sore itu aku memutuskan untuk pulang sekedar melihat keadaan Leona. Ada sedikit
perasaan bersalah yang menggangguku akhir-akhir ini. Setidaknya aku ingin
meminta maaf atas apa yang telah aku perbuat pada bayinya yang tidak bersalah.
Aku menyesal.
Aku membuka pintu depan. Samar-samar aku mendengar suara
dari arah dapur. Aku melangkah menuju sumber suara. Perasaan lega memenuhiku
saat melihat Leona sibuk mengiris tomat di atas nakas. Aku memanggilnya pelan
takut membuatnya kaget. Leona menoleh lemah.
Aku tidak pernah menyangka akan melihatnya dalam kondisi
seburuk ini. Rambut yang berantakan, mata yang bengkak dan menghitam serta
wajah pucat. Sepertinya dia tidak mengurus diri dan tidak tidur dengan benar
selama aku pergi. Sebuah senyum tipis terbit di wajah ayunya. Kelegaan
memenuhiku.
“Makan malam sudah siap.” Ujarnya masih tersenyum. “Ayo
kita makan.” Aku membalas senyumannya kemudian berbalik untuk menuju ruang
makan. Namun tiba-tiba semua menjadi gelap.
Dua hal yang aku ingat bahkan hingga sekarang sebelum
kegelapan itu datang adalah sebuah kilatan cahaya putih dari besi yang kemudian
disusul dengan lantai yang hangat dan lengket.
***
“Aku sudah menceritakan kisahku, bagaimana dengan
kisahmu?” Dia hanya tersenyum masih menatap danau di depan sana.
“Aku tidak memiliki kisah.” Ia menoleh dan tersenyum. “Makanya
aku suka mendengarkan kisah orang lain.” Aku memandangnya heran. “Oh aku lupa
memperkenalkan diri.” Ia melempar batu kecil ke arah danau. Ia tersenyum
sebelum mengatakan kalimatnya, “Aku
adalah orang yang dibunuh atas perintahmu.”
TAMAT
Bogor, 4 Maret 2019
Comments
Post a Comment