KISAH ORANG ASING

Oleh : S N H

Angin sepoi yang bertiup tidak menyurutkanku untuk terus memandang hamparan danau di depan sana. Kabut tipis menguasai dari atas danau membuatku tidak dapat melihat ujung danau ini. Seseorang menyentuh bahuku ringan. Pandanganku mengarah mengikuti pergerakannya. Ia duduk dan melipat kedua kakinya di depan dada, mengikuti gaya dudukku.
“Hai!” sapanya sok kenal. Aku membuang muka ke depan dengan cepat. “Bagaimana kau bisa sampai kesini?” Tanyanya kemudian.
“Aku tidak butuh berbagi kisah dengan orang asing.” Aku melihatnya tersenyum sinis sekilas kemudian disusul ekspresi datar. Mungkin saja orang ini memang berniat baik tetapi apa aku sanggup untuk membuka kisah yang bahkan aku sendiri tidak ingin mendengarnya? Hatiku bergejolak.
“Mungkin saja aku bisa sedikit meringankan bebanmu.”
Kisahpun dimulai.
***
Leona, gadis yang sudah dijodohkan denganku sejak kita berada di bangku sekolah menengah atas. Dia gadis yang baik, sopan dan tentu saja memiliki latar belakang keluarga yang baik. Kita berencana akan menikah setelah tiga tahun kami lulus kuliah, namun baru dua tahun berlalu orang tuanya memintaku untuk mempercepat acara pernikahan. Tentu saja tidak ada alasan untuk aku menolak.
Tiga bulan berlalu setelah pernikahan, aku menjalani kehidupan pernikahan dengan normal. Setiap pagi kami sarapan bersama, kemudian dia akan mengantarku hingga ke mobil saat berangkat kerja dan saat pulang makan malam lezat sudah tersaji.
Namun tidak dengan malam itu.
“Gen,” Panggilnya lirih. Dia menemaniku duduk di sofa. Aku menatapnya memberi tanda sudah siap untuk mendengarkan. “Aku hamil.” Ujarnya pendek. Aku segera memeluknya erat tidak peduli dia tidak akan bisa bernapas. Senyuman terus mengembang di bibirku.
“Tapi bukan kamu ayahnya.”
Aku membeku kemudian dengan perlahan melepaskan pelukan. Ia menunduk.
“Apa ayahmu tahu tentang ini?” Aku masih tidak mengerti begitu banyak pertanyaan yang terlintas di otakku hingga aku muak, justru pertanyaan seperti itu yang terpilih. Dia mengangguk. Aku meremas rambut belakang kepalaku gemas.
“Sebenarnya ayah melarangku untuk mengatakan ini, tetapi aku merasa menjadi sangat jahat.” Mau mengatakan atau tidak tetap saja itu kejahatan. “Alasan ayah untuk mempercepat pernikahan adalah,” kalimatnya sedikit terputus oleh isakannya. “Karena aku sudah mengandung.” Ia mengangkat wajahnya menatapku. Inilah untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Aku merasa kasihan kepadanya tetapi aku lebih kasihan terhadap diriku sendiri. “Aku harap dengan kejujuranku ini, kamu masih mau menerimaku Gen.” Ia memeluk lenganku tanda permohonan. Aku memandang pucuk kepalanya yang menempel di lenganku.
“Aku akan memaafkanmu,” Leona mengangkat wajahnya. “Jika kau bunuh bayi itu!” kataku mengakhiri obrolan malam ini.
Selama seminggu setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk menyewa penginapan dan tidak pernah pulang. Aku membanting diri ke kasur. Ponselku berdering menandakan ada panggilan. Ayah.
 “Apa yang sudah kau lakukan pada Leona?” Suaranya tenang. “Dia menggugurkan bayinya.” Aku tidak pernah menyangka Leona akan benar-benar melakukannya. Ada sedikit penyesalan yang terlintas.
“Seharusnya ayah tahu,” ucapku tak kalah tenang. “Siapa yang menjadi tokoh antagonisnya.” Aku menutup panggilan secara sepihak.
Tepatnya dua minggu berlalu sejak aku pergi dari rumah. Sore itu aku memutuskan untuk pulang sekedar melihat keadaan Leona. Ada sedikit perasaan bersalah yang menggangguku akhir-akhir ini. Setidaknya aku ingin meminta maaf atas apa yang telah aku perbuat pada bayinya yang tidak bersalah. Aku menyesal.
Aku membuka pintu depan. Samar-samar aku mendengar suara dari arah dapur. Aku melangkah menuju sumber suara. Perasaan lega memenuhiku saat melihat Leona sibuk mengiris tomat di atas nakas. Aku memanggilnya pelan takut membuatnya kaget. Leona menoleh lemah.
Aku tidak pernah menyangka akan melihatnya dalam kondisi seburuk ini. Rambut yang berantakan, mata yang bengkak dan menghitam serta wajah pucat. Sepertinya dia tidak mengurus diri dan tidak tidur dengan benar selama aku pergi. Sebuah senyum tipis terbit di wajah ayunya. Kelegaan memenuhiku.
“Makan malam sudah siap.” Ujarnya masih tersenyum. “Ayo kita makan.” Aku membalas senyumannya kemudian berbalik untuk menuju ruang makan. Namun tiba-tiba semua menjadi gelap.
Dua hal yang aku ingat bahkan hingga sekarang sebelum kegelapan itu datang adalah sebuah kilatan cahaya putih dari besi yang kemudian disusul dengan lantai yang hangat dan lengket. 

***
“Aku sudah menceritakan kisahku, bagaimana dengan kisahmu?” Dia hanya tersenyum masih menatap danau di depan sana.
“Aku tidak memiliki kisah.” Ia menoleh dan tersenyum. “Makanya aku suka mendengarkan kisah orang lain.” Aku memandangnya heran. “Oh aku lupa memperkenalkan diri.” Ia melempar batu kecil ke arah danau. Ia tersenyum sebelum mengatakan kalimatnya, “Aku adalah orang yang dibunuh atas perintahmu.”


 TAMAT 


-Naskah ini dimuat di buku antologi cerpen Borrowed Memories Penerbit Ellunar-

Bogor, 4 Maret 2019

Comments

Translate into

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Visit me on

Instagram Facebook Twitter Linkedin

Popular Post

KESETIMBANGAN KIMIA DALAM INDUSTRI

PROCEDURE TEXT

SEGITIGA API DAN PEMINDAHAN PANAS