KISAH ASHABUL KAHFI DAN HIKMAH YANG DAPAT DIAMBIL
Kisah Ashabul
Kahfi (Bahasa Arab: أصحاب الكهف) merupakan suatu kisah mengenai
beberapa orang pemuda yang tertidur di dalam sebuah gua, dan terbangun 309
tahun kemudian.
Pemuda-pemuda
beriman ini hidup pada masa Raja Diqyanus di Rom, beberapa ratus tahun sebelum
diutusnya Nabi Isa a.s. Mereka hidup di tengah masyarakat penyembah berhala
dengan seorang raja yang zalim. Demi menjaga iman, mereka melarikan diri dari
kota, dikejar oleh tentara raja untuk dibunuh. Hingga pada suatu ketika,
sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai sebagai tempat
persembunyian.
1.
Banyaknya pemuda
Firman Allah
dalam Surah Al-Kahfi ayat 22, yang artinya;
·
Nanti (ada orang yang akan)
mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya;
dan (yang lain) mengatakan, “(jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam
adalah anjingnya”, sebagai terkaan barang yang gaib; dan (yang lain lagi)
mengatakan, (jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya”.
Katakanlah, “Tuhan-ku lebih mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang
mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. “karena itu, janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan
jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun
diantara mereka”.
Dikatakan nama
pemuda-pemuda tersebut adalah Tamlikha, Miksalmina, Mikhaslimia, Martelius,
Casitius, Sidemius dan seorang pengembala kambing bersama anjingnya Qithmir.
2.
Lokasi gua
Kahfi berarti gua. Ashabul berarti ahli. Mereka
tidur selama 3 abad atau 309 tahun. Ada 3 gua yang dimaksudkan, yaitu:
Kisah Ashabul Kahfi terjadi
di suatu tempat yang kini bernama Gunung Pion (Mt. of Pion). Di sana
terletak sebuah gua yang diberi nama Gua Tujuh Orang Petidur (The Cave
Of The Seven Sleepers) yang terletak di Efesus (Ephesus),
Turki.
Kisah tersebut terjadi sekitar 1400 tahun yang lalu.
Berkenaan dengan sejarah itu, Allah telah menerangkan kisah yang terjadi kepada petidur-petidur itu dalam al-Quran.
Kisah itu terjadi pada zaman pemerintahan Maharaja Dikyanus (Decius)
sekitar tahun 249 hingga 251 Masehi. Manakala peristiwa itu
berakhir 309 tahun kemudian dan mulai menjadi buah bibir masyarakat
dunia khususnya para penganut agama Kristian
dan Islam setelah bangunnya petidur-petidur beriman itu dari tidurnya pada
zaman pemerintahan Maharaja Theodosius II yang beragama Nasrani (Kristian) sampai sekarang. Pada
zaman Theodosius itu, setelah berakhirnya peristiwa ajaib itu, sebuah tempat
ibadah (Gereja Nasrani) dahulu pun telah
dibangun.
Profesor Muhammad Taisir Dhabyan dalam bukunya 'Penemuan Besar Abad
20 : 7 Petidur Tiga Abad' menyatakan:”gua tersebut terletak di 7 km tenggara
bandar baru Amman,
Jordan. Peristiwa Ashabul Kahfi begitu istimewa sehingga sebuah surah dinamakan
al Kahfi.
3.
Cerita dari Ali Bin Abi Tholib

Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu
berdiri, terus bertanya, "Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara
Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer.
Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya
yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang
berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya
dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi
dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah
baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat
menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya
80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi,
semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.
Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk
para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi
sambil berkata, "Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali
menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas,
berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya
laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50
orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari
sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat
indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas.
Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka,
raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu
keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu
itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan
yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, "Hai Ali, jika yang kau katakan itu
benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja
itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab,
"Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang
yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina,
dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding
dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang
yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini
kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang
berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara
isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan
sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis
dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara
lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil
membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari
rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua
orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu
kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan
terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari
mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri
jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan
sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati,
"Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan
pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari
tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka
berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri
tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang
membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar, “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku
lalu bertanya pada diriku sendiri, ”siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai
atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa
tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah
yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?”, Kemudian
kupikirkan juga bumi ini, “Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak
goyah, tidak goncang dan tidak miring?”. Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri, “Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti
ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…".
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha
diciumi sambil berkata, “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan
jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara”, jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan
akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja
Pencipta Langit dan Bumi!”.
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk
menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang
itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha
berkata kepada teman-temannya, “Saudara-saudara,
kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang
turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah
akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan
kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa
berjalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,
”Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan
kalian itu!”
”Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?”.
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua
yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera
bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata,
“Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.
Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala
itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama
kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi
yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata,
"Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna
anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi
Thalib, "Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika
enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata
kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas
dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan
jelas sekali, “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku
ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah
aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan
diriku kepada Allah SWT.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka
mendekati sebuah gua.
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi
dari tempat duduknya sambil berkata, "Apakah
nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"
Imam Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama Naglus
dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara
tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras
sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing
yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan
Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari
mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari
kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit
condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir
terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai
berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan
berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang
melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam
orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua.
Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak
akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah
menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya
mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu”.
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama
309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT
mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan
sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang
seorang berkata kepada yang lainnya, “Malam
tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka
lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah
menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya, “Siapakah diantara kita
ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa
mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata, “Hai saudara-saudara, aku
sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia
berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama
sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau
berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah.’
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil
mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, “Kusangka aku ini masih tidur!”. Setelah agak lama memandang dan
mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum
pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja
roti, “Hai tukang roti, apakah nama kota
kalian ini?”. “Aphesus,”. sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?”. tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab
penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh
aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena
uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan
lebih berat."
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri
lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan
kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Imam Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh
Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh
dan dua pertiga dirham baru!"
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, "Penjual
Roti lalu berkata kepada Tamlikha, “Aduhai,
alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan
sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga
hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, “Apakah setelah engkau menemukan
harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi
pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri
sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam!
Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap
adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, “Bagaimana cerita tentang orang ini?”. “Dia
menemukan harta karun,”. jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS
memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu.
Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab, “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun!
Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan, “Engkau penduduk kota ini?”. “Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?”. tanya raja lagi. “Ya, ada,”. jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah
raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu
nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata. “Ah…, semua itu bukan nama
orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai
rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,”. jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai
Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling
tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan, “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki
yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah
sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua.
Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil
mengamat-amati ia bertanya, “Siapa
namamu?”. “Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang
tua itu lalu berkata, “Coba ulangi
lagi!”. Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk
lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang
yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya
dengan suara haru, “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta
langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka
kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian
dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke
tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat
Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas
pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha
sambil bertanya-tanya, “Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang
bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama
Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi
membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan
dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir
kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya
senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua.
Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan
menemui dan memberitahu mereka!'
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang
diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan,
dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur bagi Allah yang telah
menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'
Tamlikha menukas, 'Ada
urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian
tinggal di sini?'
'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.
'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309
tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat
silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha
Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'
Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang
yang menggemparkan seluruh jagad?'. 'Lantas
apa yang kalian inginkan?'. Tamlikha balik bertanya.
'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian
berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang
telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami
sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT
melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu
segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk
lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin
tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang
semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.'
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam."
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua
yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi,
walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang
Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa
engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua
(Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab
Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
4. Hikmah :
* Bahwa kisah ashhabul kahfi,
meskipun sangat mengagumkan, tetapi bukan merupakan tanda kekuasaan Allah SWT
yang paling mengagumkan, karena Allah SWT memiliki tanda-tanda kekuasaan
tersendiri dan kisah-kisah lain yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga
bagi orang-orang yang berkenan merenungkannya.
* Bahwa orang yang memohon
perlindungan kepada Allah SWT, maka Allah akan melindungi dan menyayanginya.
Allah SWT telah melindungi ashhabul kahfi dalam tidur mereka yang cukup lama
dengan memelihara keimanan dan tubuh mereka dari gangguan serta pembunuhan kaum
mereka dan Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan mereka bangun dari tidur
mereka sebagai tanda kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya yang banyak dan
bermacam-macam, supaya hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah Subhannahu
wa Ta’ala pasti benar.
* Adalah perintah menuntut ilmu-ilmu
yang bermanfaat dan mendiskusikannya, karena Allah Ta’ala telah mengutus mereka
untuk tujuan tersebut dan mengilhami mereka untuk berdiskusi di antara mereka
seputar keyakinan mereka dan pengetahuan masyarakat mengenai keyakinan atau
perilaku mereka sehingga diperoleh bukti-bukti dan pengetahuan bahwa janji
Allah pasti benar dan sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi tanpa ada keraguan
di dalamnya.
* Etika seseorang yang merasa samar
mengenai sesuatu ilmu, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada gurunya dan
berusaha untuk memahami dengan seksama pelajaran yang telah diketahuinya.
* Bahwa sah mewakilkan dan
mengadakan kerja sama dalam jual beli. Hal tersebut merujuk perkataan
mereka,artinya, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini”, kemudian “? maka hendaklah dia membawa
makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Bahwa diperbolehkannya memakan
makanan yang baik-baik dan memilih makanan-makanan yang layak dan sesuai dengan
selera seseorang selama tidak melebihi batas-batas kewajaran. Sedang jika
melebihi batas-batas kewajaran maka hal tersebut termasuk perbuatan yang
dilarang. Hal itu didasarkan kepada perkataan salah seorang dari
mereka,artinya, “dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).
* Adalah berkenaan dengan anjuran
supaya memelihara, melindungi serta menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat
menimbulkan fitnah dalam urusan agama dan harus menyembunyikan ilmu yang
mendorong manusia berbuat jahat.
* Adalah berkenaan dengan keterangan
yang menjelaskan perhatian dan kecintaan para pemuda itu kepada agama yang
benar, pelarian mereka untuk menjauhkan diri dari semua fitnah dalam urusan
agama mereka dan pengasingan diri mereka dengan meninggalkan kampung halaman
serta kebiasaan mereka untuk menempuh jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala.
* Adalah berkenaan dengan keterangan
yang menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam kejahatan, seperti kemadharatan
dan kerusakan yang mengundang kemurkaan Allah dan kewajiban meninggalkannya,
dan meniggalkannya merupakan jalan yang harus ditempuh oleh kaum mukminin.
* Bahwa firman Allah Subhannahu wa
Ta’ala,artinya, “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata,
“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”
(Al-Kahfi: 21) menunjukkan bahwa orang-orang yang berkuasa yang dimaksud ialah
para penguasa ketika mereka dibangunkan dari tidur mereka yaitu para penguasa
yang telah beragama dengan agama yang benar, karena para penguasa itu
mengagungkan dan memuliakan mereka, sehingga para penguasa tersebut berniat
membangun sebuah rumah peribadatan di atas gua mereka.
* Bahwa pembahasan yang
panjang lebar dan bertele-tele dalam masalah-masalah yang tidak penting; maka
hal itu tidak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal itu merujuk firman
Allah Ta’ala,artinya, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang
hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang
mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi:
22).
* Bahwa bertanya kepada seseorang
yang tidak berilmu dalam masalah yang akan dimintai pertanggungan jawab di dalamnya
atau orang yang tidak dapat dipercaya adalah terlarang. Hal itu merujuk firman
Allah Ta’ala,artinya, “? dan jangan kamu menanyakan tentang mereka
(pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).
Comments
Post a Comment