SANDIA CHARI



Oleh : S N H

“Jagalah ini demi ayah.” Aku mengangguk lemah. Mataku terpejam bersumpah pada diri sendiri untuk memenuhi permohonan terakhir ayah.
***
            Sandia Chari. Dia memiliki rambut hitam panjang, aku menyukainya. Dia memiliki mata biru sebiru langit, aku menyukainya. Dia memiliki senyuman manis, aku menyukainya. Sejak pertama melihatnya, aku sudah jatuh cinta padanya.
            Dia duduk di bangku taman belakang rumahnya sendirian. Chari menoleh menyadari keberadaanku. Tanpa diperintah, dia langsung menyuguhkan senyuman termanisnya untukku. Hanya untukku.
            “Apa kau menyukai duduk sendirian disini?” tanyaku setelah aku duduk disampingnya.
            Dia menggumam pelan. “Disinilah aku bisa membuat sebuah cerita tentang seseorang sesuai dengan apa yang aku inginkan.” Chari menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku sedikit bergerak untuk menyamankannya.
            “Apa aku boleh menjadi tokoh utamanya?” Aku menatap helaian rambut di pucuk kepalanya yang bergerak-gerak tertiup angin. Tangan kirinya berada di genggamanku.
            “Tidak.” Ucapnya lembut. “Kau sudah menjadi tokoh utama dalam hidupku. Kenapa kau masih ingin menjadi tokoh utama dalam ceritaku?” sudut bibirku tertarik ke atas hingga membentuk sebuah senyuman. “Apa kau masih mencintaiku?” selalu pertanyaan itu. Setiap kita bertemu, Chari selalu menanyakan hal itu. Sebanyak apapun aku menjawabnya, dia akan terus bertanya seakan meragukanku.
            “Tentu saja. Sampai kapanpun kau bertanya, jawabanku tidak akan pernah berubah.” Dia tersenyum puas seraya membalas genggaman tanganku. Namun aku tahu, besok saat aku kembali kesini, dia akan menanyakannya lagi dan lagi seperti biasanya.
“Suatu saat nanti, kau pasti akan meninggalkanku.” Ucapnya datar. “Atau aku yang akan meninggalkanmu. Kita tidak bisa selamanya bersama.” Beberapa menit tidak ada yang membuka suara.
 “Mau jalan-jalan ke hutan?” Dia masih diam. Tiba-tiba sebuah tangan dingin menarikku untuk berdiri.
            “Ayo!”
            Dia berlari-lari kecil beberapa meter di depanku. Sesekali dia melompat ingin menangkap kupu-kupu ataupun bunga yang terunduk rendah. Aku tidak bisa berhenti untuk tersenyum melihat tingkah kekanakannya.
            “Lihat! Ikannya sangat indah.” Ujarnya saat kita berjongkok di pinggiran sungai kecil. Wajahnya terpantul sempurna oleh air sungai yang jernih. “Aku mau menangkap satu!” Tiba-tiba Chari melompat ke sungai. Sontak aku refleks memegang tangannya. Namun terlambat, sebagian tubuhnya sudah tenggelam dalam air. “Artes,” dia memanggil namaku lembut, menyadari aku hanya diam menatapnya dari atas. “Apa kau marah?” tanyanya hati-hati. Aku menggeleng perlahan.
            “Biar aku saja yang menangkapnya untukmu.” Aku turun ke sungai. Air sungai perlahan merambat membasahi tubuhku hingga ke pinggang. Alih-alih keluar dari sungai, Chari malah mengikutiku untuk mencari ikan. Dia bahkan terlihat lebih bahagia sekarang. Dengan bersemangat dia menunjuk ikan warna-warni yang berenang di antara kaki kami.
“Aku akan pulang. Besok aku kesini lagi.” Ujarku saat sampai di belakang rumahnya.
            “Bawalah ini.” Chari menyodorkan akuarium bulat dengan seekor ikan tangkapanku tadi. “Kau harus menjaganya.” Aku ingin mengelak, namun dia mencegahku. “Jagalah demi diriku.” Dia tersenyum. Akhirnya aku mengambilnya dan berjalan pulang tanpa menoleh ke arahnya lagi.
***
            Pagi ini aku dibuat terkejut mendapati sebuah akuarium kosong di meja dekat tempat tidur. Berbagai firasat buruk memenuhi kepalaku. Aku bergegas menuju perbatasan hutan. Rumah itu kosong. Dadaku semakin sakit diiringi rasa nyeri pada kedua kakiku. Kuputuskan untuk berlari menembus hutan. Angin hutan yang dingin tidak membuatku gentar sekalipun.
            Aku menemukannya disana. Duduk di atas batu besar di pinggir sungai. Kali ini tidak ada senyuman seperti biasa.
            “Kau harus mengakhiri semuanya.” Ucapnya datar. “Kembalikan lukisan itu!” matanya mengarah ke benda kotak di tangan kananku. “Kau orang yang baik. Tidak seharusnya kau mendapat kutukan ini. Jika kau benar-benar mencintaiku seperti apa yang sering kau katakan, berjanjilah ini akan menjadi pertemuan terakhir kita.” aku masih terdiam mencerna kalimat randomnya barusan. “Jangan salahkan ayahmu. Ini semua salahku karena aku yang memilihmu.” Dia hendak berbalik masuk ke hutan lebih dalam.
            “TUNGGU! Jika aku kembalikan lukisan ini, aku tidak akan pernah bisa bertemu denganmu lagi, kan?” dia hanya menatapku kosong. “Aku tidak akan pernah melakukannya!”
            “Baiklah,” Suaranya serak. “AKU YANG AKAN MELAKUKANNYA SENDIRI!” Teriaknya membahana keseluruh penjuru hutan. Dia berlari secepat kilat masuk ke hutan. aku ingin berlari mengejarnya. Namun, seakan ada beribu tangan menahanku. Aku berteriak-teriak yang bahkan aku sendiri tidak bisa mendengarnya. Meraung-meraungkan namanya ke hamparan kosong di hadapanku. Dia telah pergi. Aku terduduk di atas tanah yang basah memeluk sebuah kanvas tua berharap dia akan datang. Ribuan air mata berdesakan mengalir turun. Namun tiba-tiba tanah bergetar hebat dan seketika semuanya menjadi gelap.
***
            Dering alarm memaksaku untuk bangun. Tanganku menggapai-gapai untuk menghentikannya. Aku turun dari ranjang, memakai sandal dan segera berjalan menyusuri lorong menuju ruangan kesukaanku. Aku hanya harus melakukan apa yang biasanya aku lakukan. Membawa lukisan itu ke rumahnya dan dia akan menungguku disana dengan senyuman, seperti biasa. Menungguku di bangku taman belakang rumahnya.
            Aroma cat memenuhi indera penciumanku. Aku berjalan perlahan menuju etalase di sudut ruangan ini. Ruangan tempat mendiang ayahku membuatnya, melukisnya. Aku menatap kosong ke lukisan itu. Pintu pembuka yang seharusnya ada disana tidak menunjukkan diri diganti dengan kaca penutup permanen. Seseorang tidak ingin ada yang mengambil lukisan itu lagi. Dan aku tahu siapa pelakunya. Aku hendak memukul kaca itu namun sekelebat janjiku kepada ayah membuatku berhenti. Aku menyadari bahwa pertanyaan apakah aku masih mencintainya lebih aku inginkan daripada sebuah kalimat perpisahan. Sekarang, aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa menyentuhnya. Sebuah lukisan seorang gadis bermata biru yang duduk sendirian di bangku taman belakang rumahnya. Aku melirik ke sudut kanan bawah lukisan itu. Mataku terpejam seraya menyebut namanya untuk terkahir kalinya. Sandia Chari.


TAMAT





 -Naskah ini dimuat di buku antologi cerpen Unexpected Saga penerbit Ellunar-

Bogor, 08 Maret 2017


Comments

Translate into

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Visit me on

Instagram Facebook Twitter Linkedin

Popular Post

KESETIMBANGAN KIMIA DALAM INDUSTRI

PROCEDURE TEXT

SEGITIGA API DAN PEMINDAHAN PANAS