SEBUAH JAWABAN PASTI

Oleh : SNH

Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat.
Angin sore meniup beberapa helaian anak rambutku. Memandang ribuan pepohonan yang menghalangi bukit dari bagian belakang rumah. Satu-satunya rumah yang menjadi saksi kehidupan di masa kecilku.
            “Ayo masuk! Angin sore tidak terlalu baik bagi tubuh.” Seorang wanita berumuran lima kali lipat lebih tua dariku memegang pergelangan tanganku. Dia tersenyum getir. Bahkan senyuman yang penuh kerutan itu masih terlihat manis olehku.
            Sejak ayahku meninggal sepuluh tahun yang lalu, aku dirawat oleh kakek dan nenek darinya. Kakek adalah seorang mantan pejuang veteran. Beliau selalu bersemangat saat bercerita bagaimana perjuangannya bersama teman-temannya melawan penjajahan Belanda. Rumah yang kami tempati saat ini merupakan rumah yang diberikan negara untuk keluarga kakek. Walaupun puluhan kali direnovasi, siapapun yang melihat dari luar akan tahu jika rumah ini tidak dibangun pada jaman modern. Dengan design memanjang, banyak daun pintu di bagian depan, dan ruangan yang luas dengan sedikit sekat. Bagian ruang tamu, terpajang satu bingkai foto besar dengan banyak foto yang tertempel berukuran empat kali enam dan di bingkai lain, ada foto kakek yang tak kalah besar mengenakan seragam lengkapnya, sehingga menandakan siapa sang pemilik rumah.
            “Bagaimana sekolahmu hari ini?” Aku membenarkan posisi kepala yang berada di pangkuan nenek. “Pasti menyenangkan.”
            “Mereka semua menyebalkan seperti biasa. Mereka pikir aku ini makhluk luar angkasa, apa?” Nenek terkekeh pelan. “Mereka selalu menanyaiku dengan pertanyaan bodoh.”
            “Sifat kamu yang seperti ini, persis seperti ayahmu.” Nenek mengacak rambutku pelan. Perasaan sesak tiba-tiba datang saat mendengar nenek menyebut kata ayah. Bayang-bayang hitam itu kembali datang. Aku memeluk pinggang nenek dan menyembunyikan wajah di perutnya yang rata. Nenek membalas pelukakanku, seakan tahu apa yang saat ini aku rasakan. “Kau tidak ingin ke depan menemani kakek?” Ujarnya setelah beberapa saat kami terdiam.
            “Tidak. Orang-orang itu hanya akan memandangku dengan tatapan aneh.” Setiap kakek berada di rumah, rumah ini tidak pernah sepi. Orang-orang selalu datang untuk membahas sesuatu dengannya. Bahkan hingga larut malam seperti saat ini.
            “Wajar kalau mereka memandangmu seperti itu. Kau tinggal disini. Dan lihatlah, kau sangat berbeda dari mereka.” Setiap orang yang melihatku, pasti akan mengatakan hal yang sama. Bahkan teman-teman perempuan di sekolah juga tidak ada bedanya. Dengan postur tubuh lumayan tinggi, kulit yang terlampau putih untuk ukuran seorang anak laki-laki, bibir tipis, hidung mancung, belum lagi rambut cokelat ku ini, benar-benar berbeda dengan milik mereka. Satu lagi, mata sebiru langit yang aku miliki. Benar-benar lengkap untuk disebut makhluk dari luar angkasa menurut mereka.
            “Bagaimana aku bisa memiliki mata ini, nek?” Aku menoleh untuk bertatapan dengan nenek. “Walau aku masih berumur delapan tahun saat itu, aku bisa melihat bahwa ayah tidak memilikinya. Nenek ataupun kakek juga.” Nenek hanya tersenyum lembut.
            “Kau mendapatkannya dari ibumu.” Aku bangkit untuk duduk di senderan tempat tidur. Cerita tentang ibu selalu menarik untukku. Bagiku, ibu adalah seseorang yang abstrak yang tak pernah terlihat jelas olehku. Nenek mengatakan bahwa ibuku meninggal setelah berjuang untuk melahirkanku.
            “Dia itu perempuan yang lemah lembut dan cantik.” Mata beliau berkaca-kaca. Aku melihat pancaran kesedihan darinya. “Dia memiliki rambut yang sama cokelat denganmu. Lebih terang lagi, mungkin. Rambut panjang sepinggangnya, lurus tanpa gelombang. Mata biru langitnya yang indah selalu terlihat ceria. Oh iya, dia sangat suka memakai sweeter.” Nenek menoleh ke arahku. “Senyum manisnya, benar-benar masih bisa terbayang sampai saat ini.” Kami terdiam. Hanya samar-samar suara kakek dan orang-orang di depan yang terdengar. “Sudahlah, mengingatnya hanya akan membuat sedih. Sudah malam, tidurlah!”
            Blam!
            Suara pintu tertutup menambah keheningan. Hanya langit-langit kamar yang sama setiap malamnya yang bisa aku pandangi saat ini. Suara samar-samar orang di depan mulai melemah dan entah sejak kapan tidak terdengar lagi.
            Seperti pagi biasanya, rumah ini sepi. Nenek pergi ke pasar untuk berbelanja dan kakek mungkin ke ladang. Aku duduk di bangku belakang rumah, memandang hal yang sama. Entah sudah terkubur sejak kapan keinginan itu, melakukan hal yang selama ini dilarang oleh kakek. Aku menurut saja dengan otak yang menyuruhku melangkah. Lima anak tangga berhasil aku turuni hingga menginjak tanah yang agak lembab. Aku memandang lurus ke rimbunan pepohonan seraya terus melangkah. Menembusnya, tidak peduli akan berujung kemana. Aku terus melangkah hingga tak sadar bahwa keadaan semakin gelap karena sinar matahari tak mampu menerobos masuk ke hutan.
Hal yang tak terbayangkan sebelumnya tersuguh di depan mata. Setelah berhasil menembus tiga barisan pohon raksasa, hanya semak belukar rendah dengan beberapa bunga warna-warni yang terhampar. Diantaranya, terbentang sungai selebar dua langkah yang hanya sebatas betis. Air sungai itu sangat jernih dan terdapat ikan-ikan kecil yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku berencana menangkap beberapa untuk dipelihara sewaktu kembali nanti.  Sungguh keindahan yang tersembunyi, atau sengaja disembunyikan? Entahlah.
Kira-kira lima menit menyusuri semakin ke dalam, semak yang terlihat semakin tinggi, kemudian terdapat beberapa pohon raksasa diantaranya. Hingga terlihat semak sangat tinggi yang membentang bagai benteng pemisah. Aku berpikir mungkin dibaliknya ada keindahan yang lebih yang disembunyikan. Ini tidak mudah seperti yang aku bayangkan. Semak ini mungkin sudah tumbuh ribuan tahun yang lalu hingga sangat kuat untuk ditembus. Aku mundur untuk mengambil langkah. Dengan sekali hentakan lari, aku memaksa menerobos masuk dan,
Sreeekkkk! Aku jatuh terjun ke bawah tanpa dasar. Waktu terasa berlalu dengan cepat dan bumi tidak terlihat dengan jelas. Entah sejak kapan aku terlentang di tanah lembab dan semua menjadi sangat gelap seakan aku masuk ke dimensi lain. Tubuhku dipenuhi bercak tanah lumpur. Gesekan tanah meninggalkan memar yang terasa perih. Aku melihat berkeliling, hanya kegelapan yang terpampang.
“ANNA!” Anna? Tidak mungkin! Siapa itu? “ANNA!” Siapa kau? Bagaimana kau mengenalnya? Aku melangkah ke sumber suara. Suara itu terus memanggil-manggil Anna. Setitik cahaya terlihat dari kejauhan. Aku mempercepat langkah. Suara itu semakin terdengar jelas. Aku berlari tidak sabaran. Setelah berhasil memasukinya, jutaan cahaya terang menerobos hampir membutakan mataku. Aku menghalau dengan lenganku, hingga lama-kelamaan cahaya itu memudar dan mempertontonkan sesuatu yang lain.
Seorang wanita tengah duduk di tepi ranjang. Bayi di gendongannya tidak berhenti menangis. Aku merasa seperti tidak asing dengan wanita itu. Rambut cokelat cerah yang dikepang dan sweeter rajutan yang dia kenakan. Aku melirik kalender yang tertempel di dinding.
Desember 1998. Terdapat lingkaran merah di tanggal 9. Tepat lima puluh satu tahun setelah perstiwa agresi militer Belanda tahun 1947. Apa mungkin ibu? Tapi siapa bayi itu? Bukankah harusnya ibu meninggal setelah melahirkan? Berbagai pikiran aneh mulai berdesakan. Dadaku semakin sesak. Dengan gontai, aku melangkah mendekat. Sepertinya dia tidak sadar akan keberadaanku.
“ANNA!” Teriakan itu lagi. Kali ini diiringi dengan dobrakan pintu yang menampakkan seseorang berseragam kolonel lengkap dengan senapannya. Laki-laki itu memiliki wajah yang hampir sama denganku, hanya saja ditambah dengan kumis tebal. Dengan masih menngendong bayinya, dia bersimpuh dihadapan lelaki itu.
“Tolong ayah,” Rintihannya membuatku sesak. Suaranya serak karena menangis entah sejak kapan.
“KAU TAHU PERATURAN DI KELUARGA! KENAPA KAU MENIKAH DENGAN PRIBUMI SIALAN ITU!” Lelaki itu berteriak penuh emosi. Sedangkan wanita itu terus memeluk kakinya seraya menangis dan memeluk bayinya.
“Aku akan menebus kesalahanku ayah. Tapi aku mohon, jangan sakiti suami dan anakku.” Ibu! Aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Aku ingin berlari dan memeluk wanita itu, melindunginya, tapi kakiku terasa berat untuk melangkah. Bahkan untuk berdiri saja rasanya tidak sanggup.
Seorang laki-laki lain menerobos masuk menghampiri wanita itu. Dia memeluk erat wanita itu seakan tidak mau melepasnya.
“Ayah, aku yang bersalah. Lepaskan Anna dan anakku. Bunuh saja aku untuk menebusnya.” Laki-laki yang dipanggil ayah itu menendangnya hingga tersungkur di pojok.
“AYAH!” wanita itu berteriak histeris. Dia menghampiri lelaki itu dan meletakkan bayinya di sebelahnya. “Jagalah Ken untukku.” Suaranya tercekat saat mengatakannya. Dia mengelap darah di sekitar bibir lelaki itu.
Dengan kasar, wanita itu diseret-seret keluar. Ibu! Ayah, selamatkan ibu! Lelaki itu berusaha bangkit kemudian menggendong bayinya dan berlari melompati jendela. Kenapa kau tidak menyelamatkan ibu, ayah? Aku berlari ke arah pintu dengan goyah.
“PENGHIANAT SEPERTIMU TIDAK PANTAS UNTUK HIDUP! AKU JUGA TIDAK AKAN MEMBIARKAN LAKI-LAKI SEPERTINYA TERUS BERNAPAS! AKU AKAN MEMBUNUHNYA DI DEPAN ANAK KALIAN!”
“Ayah...” Dor! Suara tembakan seketika menghentikan langkahku. Jantung dan otakku serasa berhenti bekerja. Semua menjadi gelap kembali. Tidak ada suara tangisan maupun teriakan yang terdengar.
Deru mesin pemotong rumput tertangkap indera pendengaranku. Aku membuka mata cepat. Langit-langit kamar yang sama masih terlihat jelas. Tubuhku basah penuh keringat. Apa hanya mimpi? Tetapi, kenapa terasa begitu nyata? Aku melirik jam. Jam sepuluh.
Di bangku belakang rumah, nenek duduk mengamati kakek yang sedang memotong rumput dengan mesin.
“Kau sudah bangun, Ken? Sini, duduklah!” Aku duduk di bangku seberang.
“Terima kasih nek, karena sudah melahirkan ayah yang hebat untukku.” Nenek mengerutkan dahi kebingunan. Aku hanya terkekeh geli. “Mulai sekarang, aku hanya bisa terus bersyukur dengan kehidupanku. Kedua orang tuaku adalah orang yang hebat. Mereka berjuang untuk saling melindungi. Tugasku lah sekarang, untuk melindungi kakek dan nenek.” Nenek tersenyum simpul.
Satu lagi pertanyaan telah terjawab, kenapa aku harus melihat ayah dibunuh di depan mataku.  

TAMAT


 -Naskah ini dimuat di buku antologi cerpen Emporium Waktu 2 penerbit Aria Mandiri-

Bogor, 07 April 2016

Comments

Translate into

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Visit me on

Instagram Facebook Twitter Linkedin

Popular Post

KESETIMBANGAN KIMIA DALAM INDUSTRI

SEGITIGA API DAN PEMINDAHAN PANAS

PERILAKU BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI